Foto: Instagram @haji_syafruddin |
IBU adalah bakti tertinggi dan sejati seorang anak.
"Saya pernah, tiga kali tinggalkan sidang kabinet, sidang paripurna izin ke Presiden (Jokowi), karena ibu saya sakit di Makassar," ujar Komisaris Jenderal (purn) H Syafruddin Kambo (60 tahun), menggambarkan bakti kepada ibunya, Hj Lu'luwiyah (91 tahun), Jumat (24/9/2021) malam.
Saat menyampaikan pengakuan itu, Tokoh Muslim Indonesia ini terdiam beberapa jenak.
Nafas Wakil Kepala Polisi Republik Indonesia (2016-2018) itu tertahan.
Dengan tatapan mata yakin, dia menyambung; “Itu cuma urusan dunia. Urus ibu itu bisa mengantar kita ke akhirat.”
Sidang kabinet adalah mandatory official meeting yang wajib dihadiri 43 menteri di Kabinet Kerja I Jokowi-JK, kala itu.
Wakil Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia (DMI) ini ingat betul momen berbakti kepada ibu itu.
Menjelang tahun kedua (2018-2019) jabatannya sebagai Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (kemenPAN-RB) Syafruddin memilih pulang menjenguk dan merawat ibunya di Pavilun RS Siloam, Makassar.
"Hampir tiga hari saya tidur di ruang perawatan, tunggui Puang Nene' (sapaan akrab sang ibu)," ujarnya kepada Tribun, di Jl Batu Putih, Kelurahan Mangkura, Kecamatan Ujungpandang, Makassar.
Dan baginya, momen seruoa bukan pilihan melainkan pengabdian yang akan terus berulang, sepanjang hayat ibu.
"Malam Ini sudah delapan hari saya di Makassar. Ya tunggui ibu lagi. Paling lama saya rasa, sejak berkarier ke negara," ujarnya didampingi dr A Fajar SpPd (45), salah satu anggota tim dokter keluarganya.
Sepekan terakhir, sang "Puang Nene" kembali mendapat perawatan intensif pada salah satu rumah sakit di Makassar.
"Alhamdulillah, mulai agak baikan. Tadi Puang Nene' sudah bicara dan tahu kalau dia sudah tak di rumah sakit lagi."
Syafruddin membawa ibunya ke rumah barunya berlantai tiga di Jl Batu Putih Bundar, pusat kota Makassar.
Rumah itu, dibangun tuga tahun lalu, dan baru pekan kedua September ini "diresmikan" khusus untuk sang ibu.
Di ruang utama rumah bercat putih itu, Syafruddin memajang foto bersama ibunya di pintu Makam Rasulullah di Babul Jibril, Masjid Nabawi, Madinah.
Posisi foto itu lebih tinggi dibanding sekitar 27 frame foto dengan tokoh Islam dunia, presiden, perdana menteri, dari berbagai negara, termasuk momen pelantikannya menjadi Wakapolri (2016) dan MenPAN-RB ke-18 republik ini (Agustus 2018).
Di ruang utama rumah bercat putih itu, Syafruddin memajang foto bersama ibunya di pintu Makam Rasulullah di Babul Jibril, Masjid Nabawi, Madinah.
Posisi foto itu lebih tinggi dibanding sekitar 27 frame foto dengan tokoh Islam dunia, presiden, perdana menteri, dari berbagai negara, termasuk momen pelantikannya menjadi Wakapolri (2016) dan MenPAN-RB ke-18 republik ini (Agustus 2018).
Foto itu menggambarkan Syafruddin memegang dua gagang wheel chair sang ibu.
Foto itu diambil saat menemani sang ibu umrah tahun 2018 lalu, beberapa bulan setelah menjabat sebagai menteri di kabinet Jokowi-JK.
Foto itu dia unggah lagi di akun Instagramnya, @haji_syafruddin, pada puncak masa pandemi, awal Januari 2021 lalu.
Di foto itu pulah, dia menjelaskan makna nama ibunya. “Lu’lu bermakna mutiara jika diterjemahkan dalam bahasa Arab. Kata ini tersurat dalam Surah Ar-Rahman.”
Merujuk Mukjam Alquran, selain di Surah Ar Rahman ayat 22, frasa Lu’luw diikuti frasa “wa marjan.” (berlian).
Akar kata ini setidaknya berulang 7 kali di 6 surah dalam Alquran (Al Insan: 19, Ath-Thuur;24, Al Hajj;23, Fathiir;33, Arrahman;22 dan dua kali di Surah Al Waqiah; 23.
Kepada Tribun, Syafruddin menceritakan sekilas arti nama ibunya kepada dua teman SMA-nya di Majene (1976-1980) Nurhayati dan Nuraeni, dokter keluarga, sahabatnya Amir (64) dan komisaris BUMN PT PT Brantas Energi, Buyung Wijaya Kusuma.
Syafruddin menyebutkan ibunya sengaja direlokasi dari rumah kayu di Kompleks Dosen Unhas Tamalanrea ke Jl Batu Putih, sebagai wasiat dari mendiang ayahnya.
"Almarhum bapak saya dulu, awal tahun 1950-an tinggal di samping rumah ini. Rumah ini kita adalah wasiat bapak ke ibu," ujar ayah 4 anak ini.
Syafruddin lahir di Makassar tahun 1961.
Itu sekitar 10 tahun setelah migrasi dinas ayahnya sebagai Pabbicara BanggaE (kini Majene, Sulawesi Barat) ke Makassar.
Pabbicara adalah semacam Mangkubumi atau penasihat di Kerajaan Mandar Tua (Banggae).
Sedangkan ibunya adalah salah satu putri dari Qadi (ahli hukum) di sekitar, Tinambung Pambusuang dan Campalagian, Polewali-Mandar.
Di petilasan makam ayahnya di TPU Panaikang, Makassar, nama ayahnya ditulis lengkap. Kambo Pabbicara Banggae; 21 April 1914 /25 Jumadil Awal 1332 H -- 21 Juni 1984/ 21 Ramadhan 1404 H.
Ayahnya, Haji Kambo adalah pejuang masa revolusi. "Bapak saya itu, saat remaja di Banggae ikut kapal beli senapan dari Philipina sana, dibawa ke Mandar untuk berjuang melawan Belanda dan Jepang jadi dapat pangkat perwira laut," kisahnya.
Ayahnya kemudian dinaturalisasi menjadi aparatur sipil negara, dan bekerja di Kantor Gubernur Sulawesi, 10 tahun setelah Proklamasi Kemerdekaan RI di Jakarta, 1945.
"Nenek kami di Mandar baru tahu Indonesia itu merdeka nanti tahun 1956. Pejuang di Makassar baru tahu Indonesia merdeka itu tahun 1950, bukan 17 Agustus 1945," ujar Syaf, mengulas alasan kepindahan ayahnya ke Makassar, enam dekade lalu.
Syafruddin sejatinya anak tunggal dari ibunya, Hj Lu'luwiyah.
Ia juga punya 7 kakak dari garis ayahnya di Majene, Polewali, Makassar, Kalimantan dan Kendari.
Di usia 1 hingga 2 tahun, oleh ibunya, Syafruddin dipeliharah dan disusui oleh kerabat jauhnya, Hj Rasdiana.
"Ibu saya sakit keras. Jadi saya disusui sama ibu angkat yang dulu tinggal di Jalan Rajawali, dekat asrama tentara sana."
Dari ibu angkatnya ini, Syafruddin memiliki 9 saudara sesusuan. "Kami sudah kayak saudara kandung malah." (thamzil thahir).
(Tribuntimur)