Ilustrasi Pers (Shutterstock) |
PAREPAREINFORMASI.COM - Website media Projectmultatuli.org diduga mendapat serangan DDoS (Distributed Denial of Service) pada Rabu, 6 Oktober 2021 pukul 18.00 WIB.
Hanya berselang dua jam setelah menerbitkan satu artikel berita dalam serial laporan #PercumaLaporPolisi berjudul “Tiga Anak Saya Diperkosa, Saya Lapor ke Polisi. Polisi Menghentikan Penyelidikan” sore sekitar pukul 16.00 WIB.
DDoS sendiri merupakan salah satu bentuk serangan digital yang dilakukan dengan membanjiri lalu lintas server dengan beban yang berat, salah satunya dengan mengirimkan request ke server secara terus menerus hingga tidak lagi bisa menampung koneksi dari user lain.
Serangan tidak hanya terjadi pada situs. Perlu diketahui selain melalui website, Project Multatuli juga menerbitkan karya jurnalistik dengan judul berita dugaan kekerasan seksual terhadap anak itu melalui platform media sosial, baik twitter dan Instagram.
Berita tersebut langsung viral dan netizen ramai-ramai membagikan ke akun medsos mereka. Tidak butuh waktu lama setelah berita itu menyebar, akun @humasreslutim memberikan klarifikasi melalui kolom komentar.
Sayangnya, dalam klarifikasi tersebut menuliskan nama lengkap orang tua anak korban kekerasan seksual (pelapor dan terlapor).
Sehingga tim Project Multatuli memilih untuk menghapus komentar tersebut dengan mempersilakan kembali memberikan klarifikasi tanpa menyebut nama.
Akun @humasreslutim juga diketahui mengirim DM berisi klarifikasi ke sejumlah akun medsos yang menyebarkan artikel Project Multatuli. Hal itu diketahui setelah salah satu pembaca yang mengirim pesan pribadi melalui akun @projectm_org.
Tidak sampai di situ, respon berlebihan juga dilakukan akun @humasreslutim dengan klarifikasi diikuti cap hoaks pada artikel berita yang dipublikasi Project Multatuli melalui postingan IG Story.
Tak berselang lama, sejumlah akun tidak dikenal mulai membanjiri kolom komentar yang mengamini klaim sepihak Polres Lutim tersebut.
Tindakan pihak Polres Lutim dengan melabeli satu karya jurnalistik yang terbitkan secara profesional merupakan bentuk pengabaian pada supremasi hukum.
Mestinya aparat kepolisian melakukan upaya hak jawab atau hak koreksi sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 5 ayat (2) dan (3) UU No 40 tahun 1999 tentang Pers.
Bukan kemudian justru mengklaim berita terkonfirmasi dengan sumber dan data yang benar sebagai informasi palsu.
Selain itu, penyebutan identitas orang tua korban oleh admin @humasreslutim dalam story IG diduga telah tidak profesional dan mengabaikan hukum.
Pasal 17 ayat (2) UU Perlindungan Anak mewajibkan setiap pihak untuk merahasiakan identitas anak yang menjadi korban kekerasan seksual.
“Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.”
Termasuk identitas dan tentu tidak hanya terbatas pada nama korban. Jika mengacu pada Pasal 19 ayat (2) UU Peradilan Anak, identitas anak juga termasuk nama orang tua, alamat, wajah, dan hal lain yang dapat mengungkapkan jati diri anak.
Menyikapi hal tersebut, Komite Keselamatan Jurnalis menyatakan:
1. Mengecam Polres Luwu Timur yang memberikan cap hoaks terhadap berita/karya jurnalistik yang terkonfirmasi. Laporan tersebut telah berdasarkan penelusuran dan investigasi kepada korban dengan melalui proses wawancara dengan pihak terkait, termasuk kepolisian Luwu Timur. Stempel hoaks atau informasi bohong terhadap berita yang terkonfirmasi, merusak kepercayaan masyarakat terhadap jurnalisme profesional, yang telah menyusun informasi secara benar sesuai Kode Etik Jurnalistik.
2. Tindakan memberi cap hoaks secara serampangan terhadap berita merupakan pelecehan yang dapat dikategorikan sebagai kekerasan terhadap jurnalis. Pasal 18 Undang-undang Pers menjelaskan sanksi pidana bagi orang yang menghambat atau menghalangi jurnalis dalam melakukan kerja-kerja jurnalistik. Adapun ancaman pidananya yaitu penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp500 juta rupiah.
3. Mengecam dan mendesak kepolisian melindungi hak anak korban kekerasan seksual dengan tidak menyebarkan identitas, termasuk nama orang tua atau hal lain yang dapat mengungkap jati diri korban.
4. Mengecam dan mendesak menghentikan upaya serangan berupa Ddos yang dilakukan kepada media sebagai respon dari pemberitaan. Serangan digital kepada media merupakan bentuk kejahatan penghalang-halangan kerja jurnalistik dan mengancam demokrasi.
5. Mengimbau kepada jurnalis dan media agar mematuhi Kode Etik Jurnalistik serta mengacu pada pedoman liputan ramah anak yang diterbitkan Dewan Pers dalam memberitakan kasus pencabulan terhadap tiga anak oleh ayahnya di Luwu Timur. Jurnalis dilarang menuliskan identitas/nama hingga alamat lengkap anak korban pelecehan seksual termasuk nama ibunya sebagai pelapor. Menyebut inisial pun bisa membahayakan pelapor dan ketiga anaknya.
Tentang Komite Keselamatan Jurnalis Komite Keselamatan Jurnalis dideklarasikan di Jakarta, 5 April 2019. Komite beranggotakan 10 organisasi pers dan organisasi masyarakat sipil, yaitu; Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, SAFEnet, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Federasi Serikat Pekerja Media Independen (FSPMI), Amnesty International Indonesia, Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).
Siaran Pers (Jakarta, 8 Oktober 2021)